“Lihat cara
laki-laki itu berjalan,” bisik seorang gadis yang berpakaian seragam putih biru itu pada temannya. Aku
mendengar ejekan yang seperti ini lagi. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari
dalam hidupku. Aku tidak akan marah, apalagi menangis. Apabila aku menanggapi
ejekan mereka tidak akan ada habisnya. Mengapa mereka dapat menertawakan dan
menghinaku? Apakah mereka tidak menyadari bahwa kata-kata dapat meninggalkan
luka di hati? Ataukah mungkin mereka tidak pernah membayangkan seandainya
mereka berada di posisiku sehingga mereka tidak dapat memahami perasaanku? Aku
menggigit lidahku agar air mata yang kutahan tidak terjatuh. Cara ini
kupelajari dari sebuah majalah dan cukup membantuku walau tidak selalu berhasil.
Bagaimanapun juga air mata yang ditahan akan terjatuh juga, hanya saja air mata
itu jatuh di dalam hati dan air mata yang terjatuh dalam hati lebih sulit untuk
dihapus.
***
“Aduh Nat, sudah
Ibu peringatkan berkali-kali jangan pulang larut malam masih saja dilanggar. Sekarang
kamu mandi dulu ya, Ibu sudah sediakan air hangat untukmu. Ibu siapkan makan
malam dulu sekarang,” ocehan Ibu mulai terdengar lagi apabila aku pulang
melewati jam 6 malam. Ibu memang sangat memperhatikanku, tepatnya memanjakanku.
Aku senang tetapi sekaligus merasa malu pada diriku sendiri. Aku sudah berusia
18 tahun dan Ibu masih memperlakukan aku layaknya seorang anak kecil.
***
Aku menenangkan
diriku dengan secangkir kopi seperti biasanya. Aroma kental dan rasa kopi favoritku
di Warung kopi Asiang ini selalu bisa membantuku untuk menenangkan pikiran
sejenak. Tidak heran, warung kopi ini selalu ramai
dan bahkan merupakan salah satu destinasi wisata kuliner kopi khas di Pontianak.
“Nathan?,”tiba-tiba
terdengar sayup suara memanggil namaku.
Aku hanya
terdiam dan berusaha untuk mengenalinya. Mengapa dia mengetahui namaku dan
tersenyum begitu tulus padaku? Aku ingat suara ini, suara yang pernah menghiasi
masa-masa kecilku. Sebuah film yang memutar kembali ingatan mulai bermain di
pikiranku.
“Kamu lupa padaku? Aku Mey Ling…”katanya tersenyum tipis.
“Mey Ling??” tanyaku saat mendengar nama yang tidak asing
bagiku.
“Iya, Mey Ling yang cengeng itu…,”jawabnya sambil tertawa
kecil.
“Bukankah kamu pindah ke Guangzhou?”tanyaku heran.
“Benar, Nat. Setelah 4 tahun di sana, aku memutuskan untuk
kembali melanjutkan kuliah di Pontianak ini, kota kelahiranku. Aku rindu sekali
pada kota ini,” jawab Mey Ling.
“Apa yang kamu
rindukan?”tanyaku dengan nada datar.
“Aku rindu
saat bermain sambil berlarian di atas rumput hijau. Aku rindu saat aku mulai
tertidur ditemani suara jangkrik yang merdu. Aku rindu pada jambu yang kita
petik saat memanjat pohon jambu Pak Ali. Aku rindu jalan-jalan sambil menikmati
semilir angin di udara terbuka di Alun-alun Kapuas. Aku rindu semuanya…”jawab Mey Ling
sambil memejamkan kedua matanya untuk membayangkan kenangan-kenangan yang
tengah bermain di pikirannya.
“ Mengapa kau rindu hal-hal seperti itu?” tanyaku lagi.
“Karena bagiku kenangan-kenangan itu adalah cara Tuhan
agar aku menghargai semua yang telah terjadi dan merasakan betapa indahnya rasa
cinta yang tercipta dalam kenangan itu,”jawab Mey Ling sambil tersenyum.
Aku mulai
memperhatikan wajahnya yang ceria itu. Apakah benar dia adalah Mey Ling si gadis
kecil bermata sipit yang pendiam dan selalu menangis itu? Dia kelihatan berubah, sekarang
dia menjadi seorang gadis remaja yang mempesona.
“Kamu berubah,” kataku
mengungkapkan yang kupikirkan apa adanya.
“Aku tidak berubah, aku hanya
memilih,” matanya yang bersinar menatapku penuh arti.
“Aku tidak mengerti
maksudmu,”jawabku sambil berusaha untuk menghindari tatapannya walaupun sebenarnya
aku senang dapat bertemu dengannya lagi.
“Hidup adalah pilihan, Nat. Selalu
ada pilihan dalam hidup dan aku memilih untuk lebih bahagia.”
“Ling, apakah kamu tahu apa
yang telah terjadi padaku?” tanyaku sambil menundukkan wajahku. Aku mulai
menggigit lidahku lagi untuk menahan air mataku. Aku ingin sekali mengeluarkan
amarah yang selama ini terkekang dalam hatiku. Aku ingin sekali memperlihatkan
rasa kekecewaan, keputusasaan, serta kepedihan yang kupendam selama ini dan begitu
menyiksaku.
“Nat, kadang kita merasa sakit oleh
hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan dan kita dapat
memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak sama sekali. Kamu harus tahu bahwa apapun
yang telah terjadi, bagiku kamu tetap Nathan. Jadi kamu tidak perlu malu untuk
menangis di depanku. Apa yang terjadi padamu Nat? Ceritakan
padaku.” Mey Ling berkata sambil meraih kedua tanganku. Rupanya ia
menyadari bahwa aku sedang menahan air mata. “Apa kamu masih ingat saat kamu melindungiku
dari anak-anak nakal dengan kipas ajaibmu yang bergambar doraemon?” tanya Mey
Ling yang sepertinya sedang berusaha membuatku tersenyum.
“Aku tidak ingat,” jawabku singkat
sambil kembali menyeruput kopiku. Aku tidak ingin Mey Ling
melihat aku yang rapuh dan lemah saat ini. Aku
merasa ada bagian dalam diriku yang tidak dapat kumengerti. Mengapa semua harus
menjadi seperti ini? Kini aku merasa tersesat di antara dua gender di dunia ini. Aku
menjadi bahan guyonan dua gender yang seakan-akan memandangku sebelah mata.
Mereka menertawaiku karena gaya berjalanku yang lemah gemulai. Mereka
menghinaku dan mengatakan bahwa aku manusia yang tidak normal. Lantas, jelaskan
padaku apa definisi manusia normal itu sendiri jikalau manusia seperti mereka
yang tidak dapat menghargai perasaan orang lain itulah yang disebut manusia
normal.
“Nat, bagaimana rasa kopi itu?”
tanya Mey Ling membuyarkan pikiranku yang sedang berkecamuk.
“Pahit.” jawabku singkat dan bingung
dengan pertanyaan itu.
“Kopi
itu ibarat kehidupan, memang kadang ada rasa pahit. Tapi, kepahitan adalah ujian untuk memperkuat iman kita. Dan dibalik kepahitan kopi,
ada rasa manis di dalamnya, bukan? Yakinlah Nat, dalam hidup tak selamanya
kita dirundung kesedihan maupun kepahitan. Kita bisa bangkit dan belajar dari
rasa pahit itu dan membuatnya menjadi manis,” Mey Ling berkata sambil berdiri
dan menepuk punggungku. “Aku pulang dulu ya, Nat. Sampai bertemu, oh ya... Aku
merindukan Nathan yang ceria seperti dulu.”bisiknya merdu di telingaku.
Kata-kata
Mey Ling terus mengiang di kepalaku.
***
Tik…Tik…Tik…
Malam semakin larut. Hujan turun
dengan lebatnya, mengguyur bumi dengan tetesan-tetesan air. Apakah Tuhan juga
sedang menangis seperti diriku saat ini?
“Dasar banci.”
“Jangan dekat-dekat dia, nanti
ketularan banci.”
“Banci itu homo, jangan berteman
dengannya.”
“Jangan ganggu banci, bahaya.”
Otakku
sekarang dipenuhi oleh rasa sesak oleh kekejaman sesamaku sendiri. Sesama
manusia yang seharusnya membantuku, bukannya menghina dan menghindar dariku.
Mengapa mereka seenaknya saja menghakimiku dengan sejuta kalimat kejam itu? Aku
hanya ingin menunjukkan siapa diriku, aku hanya ingin dihargai sebagai seorang
manusia. Aku sadar tidak ada gunanya aku menangisi diri sendiri karena
perlakuan orang-orang di sekelilingku. Tetapi, tidak bisakah mereka memberikan
kesempatan bagiku untuk menjadi diriku apa adanya dan mengganggap aku bagian
dari mereka?
“Ini
semua salahmu, Ema…,” aku mendengar suara seorang lelaki dari arah ruang tamu,
suara itu terdengar serak dan tegas. Ah, suara Ayah.
“Kamu menyalahkan aku?” terdengar
suara seorang wanita. Ini pasti suara Ibu.
“Bukan begitu maksudku, Ema,”jawab
Ayah.
“Jadi apa maksudmu?” Suara Ibu
sekarang terdengar parau. Apa yang sedang mereka bicarakan?
“Ema, Aku tahu betapa kamu sangat
menginginkan anak perempuan sejak kematian anak perempuan kita karena demam
berdarah. Tetapi caramu salah karena kamu telah memperlakukan Nathan layaknya
anak perempuan selama ini, dan kamu lihat hasilnya sekarang?” pertanyaan Ayah
dijawab Ibu dengan suara isak tangis. Ibu menangis…Ya, Ibu menangis karena aku.
“Maaf, sayang…” kata Ayah dengan lembut sambil membelai
rambut Ibu. Aku melihat dengan penuh rasa haru saat Ayah berusaha untuk menenangkan
Ibu yang sedang menangis di pelukannya.
Ternyata
mereka sedang membicarakan aku, anak lelaki mereka yang diperlakukan seperti
seorang anak perempuan selama 18 tahun ini. Aku yang dibelikan boneka barbie
dan dimanja oleh Ibu. Aku yang cengeng dan penakut. Akulah si lelaki yang
seharusnya melindungi, namun lebih memilih untuk menutup dan mengurung diri
dalam sangkar emas dan menanti datangnya perlindungan. Tetapi, aku tidak akan
menyalahkan siapapun, apalagi menyalahkan Ibu yang telah melahirkanku maupun
Ayah yang selalu menjagaku. Menyalahkan situasi atau orang lain sama saja
dengan berusaha melarikan diri dari kenyataan. Aku tidak boleh egois. Aku tidak
mau membiarkan air mata Ibu menetes sia-sia karena aku. Aku harus berubah. Aku
memberanikan diri untuk menghampiri mereka.
“Ibu,
jangan menangis…”kataku pada Ibu.
“Nathan…,”
ucap Ibu sambil terburu-buru menghapus air matanya. Ibu kelihatan terkejut
dengan kehadiranku
“Bu,
aku sayang Ibu, jadi Ibu tidak boleh menangis lagi,” kataku sambil memeluk Ibu
erat-erat dan menyeka air matanya dengan telapak tangan kananku.
“Nathan,
maafkan Ibu…,”kata Ibu pelan.
“Ibu
tidak perlu minta maaf, yang harus minta maaf adalah Nathan,” jawabku sembari
memberikan senyum termanisku untuk Ibu yang paling kusayangi.
“Nathan,
kamu dengar pembicaraan kami?” tanya Ayah padaku.
“Iya,
Ayah.” aku berusaha untuk menjawab dengan tenang.
“Kamu
tidak marah?” tanya Ayah lagi.
Aku
memandang wajah Ayah dan Ibu sesaat, menunduk, lalu memandang mereka lagi
sambil tersenyum. “Apa wajahku terlihat sedang marah?”
“Nathan,
kamu memang dapat menyembunyikan perasaanmu. Tapi Ayah dapat merasakan
kekecewaan dan kesedihanmu,” kata Ayah seraya menatapku dengan penuh kasih
sayang.
“Ayah
benar, dulu aku memang Nathan yang selalu merasa sedih dan putus asa. Tetapi,
kini aku memilih untuk berubah. Aku akan mulai belajar menjadi laki-laki sejati
dan aku yakin bahwa aku bisa,”jawabku setelah mengumpulkan keberanian dan
kepercayaan diri yang perlahan mulai tumbuh dan berkembang dalam diriku. Bukankah
hidup adalah pilihan seperti kata Mey Ling? Kini aku akan memilih untuk menjadi
Nathan yang percaya diri, tegar dan kuat. Betapa bodohnya aku terperangkap
dalam pikiranku sendiri selama ini. Aku telah mempersulit diriku sendiri. Lagipula
hidup ini juga tidak akan pernah sempurna. Setiap manusia pasti punya masalah
masing-masing dan setiap manusia juga punya pilihan. Pilihan itu ada di tangan
kita sendiri. Entah memilih untuk tetap terkurung dalam masalah itu ataukah memutuskan
untuk melakukan sesuatu dan maju menghadapi masalah itu dengan gagah berani.
“Anak
kita sudah dewasa rupanya,” kata Ayah kepada Ibu. Sedetik kemudian, kami sudah saling
merangkul dalam atmosfer cinta yang begitu indah. Aku menyadari bahwa ikatan
cinta di antara orang tua dan anak tidak akan putus seperti layaknya sebuah
lingkaran yang tidak pernah akan berhenti berputar serta tidak berujung. Aku
yakin semua orang tua sangat menyayangi anaknya dan menginginkan yang terbaik
untuk anaknya. Kini, aku merasa telah kembali menjadi manusia, tepatnya seorang
laki-laki sejati.
***
“Nathan…,”
terdengar suara seseorang memanggilku dari kejauhan saat aku sedang berjalan
menuju warung kopi Asiang. Akupun segera menoleh untuk mencari asal
suara itu. Ternyata Mey Ling.
“Hai,
Mey Ling…,” jawabku sambil berjalan ke arahnya.
“Apa
kabar?” tanyanya sambil tersenyum.
“Baik,
kamu sendiri bagaimana?” tanyaku sambil tersenyum lebar.
“Baik.
Nat, kamu kelihatan lebih bersemangat dan ceria sekarang…Ini
baru Nathan yang kukenal,”kata Mey Ling menyadari ada yang lain di
diriku.
“Iya,
Ling. Ternyata kebahagiaan terletak di dalam hati kita sendiri dan aku
sudah memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk bahagia,” jawabku.
“Bagus,Nat.
Kamu harus mengalahkan kelemahan di dalam dirimu,”kata Mey Ling sembari
mengacungkan kedua jari jempolnya padaku.
“Kamu
benar, Ling. Ketika aku mengizinkan diriku untuk masuk ke
saat ini dan mencoba untuk menghadapinya dengan penuh rasa keberanian, aku
sadar bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kutakutkan,”jawabku
sambil tersenyum lebar.
“Wah,
ada pelangi!”seru Mey Ling tiba-tiba sambil melompat girang.
“Indah
sekali. Bagaimana ya proses terciptanya pelangi?”tanyaku kagum.
“Guru
fisikaku pernah berkata bahwa pelangi muncul dari pembiasan cahaya sehabis
hujan. Bagiku, pelangi itu ciptaan Tuhan yang sangat indah…”jawab Mey Ling. Aku
semakin kagum padanya.
“Baiklah,
kalau begitu pelangi itu akan menjadi simbol dimana kuucapkan harapan untuk
kebahagiaan untuk melihat dunia yang lebih indah,” kataku tegas.
“Pelangi
adalah saat kau keluar dari penjara kehidupan yang bernama rasa takut, benci,
dan dendam. Apa kau siap untuk memancarkan keindahan bagi dunia?”tanya Mey Ling
sembari menepuk punggungku pelan.
“Tentu
saja siap, nona muda,”jawabku yang disambut senyuman Mey Ling.
“Pelangi
itu membuat hati kita menjadi hangat. Kakekku dulu berkata bahwa kehangatan
dalam diri kita akan menjadi kekuatan bagi kita. Apa kamu percaya?” tanya Mey
Ling.
“Apa
itu berarti baterai kehidupan itu terletak di jiwa kita?”tanyaku yang dijawab
dengan anggukan kepala serta tawa kecil Mey Ling. Dia terlihat begitu cantik. Aku
mulai merasakan ada yang lain padaku.
“Nat,
kenapa kamu menatapku begitu?” tanya Mey Ling menyadarkanku yang sedang
terpesona oleh kecantikannya.
“Ah,
maaf. Aku hanya merasa bahwa kau begitu cantik,” jawabku tersipu malu.
“Menurutku,
semua gadis itu terlihat cantik saat mereka menghargai diri sendiri dan merasa bahagia
dengan diri mereka.”
“Ling, bagaimana
bila aku jatuh cinta padamu?” kataku memberanikan diri untuk mengutarakan
perasaanku.
“Mengapa
tiba-tiba bertanya seperti itu?”tanya Mey Ling dengan pipi memerah.
“Karena
kini aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padamu, Ling,” jawabku
sembari menatap matanya dengan hangat.
“Apa
kamu tahu bahwa kamu adalah cinta pertamaku?”tanya Mey Ling.
“Apa
maksudmu, Ling?” tanyaku bingung.
“Nat,
sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak saat kau melindungiku dari anak-anak
nakal. Aku selalu menyukaimu. Aku selalu menanti saat aku kembali ke kota ini karena aku
sangat ingin bertemu denganmu,” jawab Mey Ling.
Wajahku
langsung bersemu merah mendengar ucapan Mey Ling. Aku merasa begitu bahagia.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk dapat melindungi dan membahagiakan Mey
Ling. Ini adalah awal yang indah bagiku untuk memulai hidup sebagai seorang
laki-laki sejati.
“Ling, Aku sayang kamu.
Bersediakah kau menjadi pelangi terindah dalam hidupku?” tanyaku pelan.
“Tentu
saja, Nat. Aku juga sayang padamu, apa adanya kamu.”
“Kamu itu bagaikan secangkir kopi
yang selalu bisa menenangkan diriku, Ling.” Aku berkata sambil mencubit pipinya
yang sedang memerah.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
#MyCupOfStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com