Sabtu, 20 Agustus 2016

Penjara Sang Pelangi



“Lihat cara laki-laki itu berjalan,” bisik seorang gadis yang berpakaian seragam putih biru itu pada temannya. Aku mendengar ejekan yang seperti ini lagi. Ini sudah menjadi makanan sehari-hari dalam hidupku. Aku tidak akan marah, apalagi menangis. Apabila aku menanggapi ejekan mereka tidak akan ada habisnya. Mengapa mereka dapat menertawakan dan menghinaku? Apakah mereka tidak menyadari bahwa kata-kata dapat meninggalkan luka di hati? Ataukah mungkin mereka tidak pernah membayangkan seandainya mereka berada di posisiku sehingga mereka tidak dapat memahami perasaanku? Aku menggigit lidahku agar air mata yang kutahan tidak terjatuh. Cara ini kupelajari dari sebuah majalah dan cukup membantuku walau tidak selalu berhasil. Bagaimanapun juga air mata yang ditahan akan terjatuh juga, hanya saja air mata itu jatuh di dalam hati dan air mata yang terjatuh dalam hati lebih sulit untuk dihapus.

***

“Aduh Nat, sudah Ibu peringatkan berkali-kali jangan pulang larut malam masih saja dilanggar. Sekarang kamu mandi dulu ya, Ibu sudah sediakan air hangat untukmu. Ibu siapkan makan malam dulu sekarang,” ocehan Ibu mulai terdengar lagi apabila aku pulang melewati jam 6 malam. Ibu memang sangat memperhatikanku, tepatnya memanjakanku. Aku senang tetapi sekaligus merasa malu pada diriku sendiri. Aku sudah berusia 18 tahun dan Ibu masih memperlakukan aku layaknya seorang anak kecil.

***
Aku menenangkan diriku dengan secangkir kopi seperti biasanya. Aroma kental dan rasa kopi favoritku di Warung kopi Asiang ini selalu bisa membantuku untuk menenangkan pikiran sejenak. Tidak heran, warung kopi ini selalu ramai dan bahkan merupakan salah satu destinasi wisata kuliner kopi khas di Pontianak.
“Nathan?,”tiba-tiba terdengar sayup suara memanggil namaku.
Aku hanya terdiam dan berusaha untuk mengenalinya. Mengapa dia mengetahui namaku dan tersenyum begitu tulus padaku? Aku ingat suara ini, suara yang pernah menghiasi masa-masa kecilku. Sebuah film yang memutar kembali ingatan mulai bermain di pikiranku.
            “Kamu lupa padaku? Aku Mey Ling…”katanya tersenyum tipis.
            “Mey Ling??” tanyaku saat mendengar nama yang tidak asing bagiku.
            “Iya, Mey Ling yang cengeng itu…,”jawabnya sambil tertawa kecil.
            “Bukankah kamu pindah ke Guangzhou?”tanyaku heran.
            “Benar, Nat. Setelah 4 tahun di sana, aku memutuskan untuk kembali melanjutkan kuliah di Pontianak ini, kota kelahiranku. Aku rindu sekali pada kota ini,” jawab Mey Ling.
“Apa yang kamu rindukan?”tanyaku dengan nada datar.
“Aku rindu saat bermain sambil berlarian di atas rumput hijau. Aku rindu saat aku mulai tertidur ditemani suara jangkrik yang merdu. Aku rindu pada jambu yang kita petik saat memanjat pohon jambu Pak Ali. Aku rindu jalan-jalan sambil menikmati semilir angin di udara terbuka di Alun-alun Kapuas. Aku rindu semuanya…”jawab Mey Ling sambil memejamkan kedua matanya untuk membayangkan kenangan-kenangan yang tengah bermain di pikirannya.
            “ Mengapa kau rindu hal-hal seperti itu?” tanyaku lagi.
            “Karena bagiku kenangan-kenangan itu adalah cara Tuhan agar aku menghargai semua yang telah terjadi dan merasakan betapa indahnya rasa cinta yang tercipta dalam kenangan itu,”jawab Mey Ling sambil tersenyum.
Aku mulai memperhatikan wajahnya yang ceria itu. Apakah benar dia adalah Mey Ling si gadis kecil bermata sipit yang pendiam dan selalu menangis itu? Dia kelihatan berubah, sekarang dia menjadi seorang gadis remaja yang mempesona.
            “Kamu berubah,” kataku mengungkapkan yang kupikirkan apa adanya.
            “Aku tidak berubah, aku hanya memilih,” matanya yang bersinar menatapku penuh arti.
            “Aku tidak mengerti maksudmu,”jawabku sambil berusaha untuk menghindari tatapannya walaupun sebenarnya aku senang dapat bertemu dengannya lagi.
            “Hidup adalah pilihan, Nat. Selalu ada pilihan dalam hidup dan aku memilih untuk lebih bahagia.”
            Ling, apakah kamu tahu apa yang telah terjadi padaku?” tanyaku sambil menundukkan wajahku. Aku mulai menggigit lidahku lagi untuk menahan air mataku. Aku ingin sekali mengeluarkan amarah yang selama ini terkekang dalam hatiku. Aku ingin sekali memperlihatkan rasa kekecewaan, keputusasaan, serta kepedihan yang kupendam selama ini dan begitu menyiksaku.
            “Nat, kadang kita merasa sakit oleh hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan dan kita dapat memilih untuk melakukan sesuatu atau tidak sama sekali. Kamu harus tahu bahwa apapun yang telah terjadi, bagiku kamu tetap Nathan. Jadi kamu tidak perlu malu untuk menangis di depanku. Apa yang terjadi padamu Nat? Ceritakan padaku.” Mey Ling berkata sambil meraih kedua tanganku. Rupanya ia menyadari bahwa aku sedang menahan air mata. “Apa kamu masih ingat saat kamu melindungiku dari anak-anak nakal dengan kipas ajaibmu yang bergambar doraemon?” tanya Mey Ling yang sepertinya sedang berusaha membuatku tersenyum.
            “Aku tidak ingat,” jawabku singkat sambil kembali menyeruput kopiku. Aku tidak ingin Mey Ling melihat aku yang rapuh dan lemah saat ini. Aku merasa ada bagian dalam diriku yang tidak dapat kumengerti. Mengapa semua harus menjadi seperti ini? Kini aku merasa tersesat di antara dua gender di dunia ini. Aku menjadi bahan guyonan dua gender yang seakan-akan memandangku sebelah mata. Mereka menertawaiku karena gaya berjalanku yang lemah gemulai. Mereka menghinaku dan mengatakan bahwa aku manusia yang tidak normal. Lantas, jelaskan padaku apa definisi manusia normal itu sendiri jikalau manusia seperti mereka yang tidak dapat menghargai perasaan orang lain itulah yang disebut manusia normal.
            “Nat, bagaimana rasa kopi itu?” tanya Mey Ling membuyarkan pikiranku yang sedang berkecamuk.
            “Pahit.” jawabku singkat dan bingung dengan pertanyaan itu.
“Kopi itu ibarat kehidupan, memang kadang ada rasa pahit. Tapi, kepahitan adalah ujian untuk memperkuat iman kita. Dan dibalik kepahitan kopi, ada rasa manis di dalamnya, bukan? Yakinlah Nat, dalam hidup tak selamanya kita dirundung kesedihan maupun kepahitan. Kita bisa bangkit dan belajar dari rasa pahit itu dan membuatnya menjadi manis,” Mey Ling berkata sambil berdiri dan menepuk punggungku. “Aku pulang dulu ya, Nat. Sampai bertemu, oh ya... Aku merindukan Nathan yang ceria seperti dulu.”bisiknya merdu di telingaku.
Kata-kata Mey Ling terus mengiang di kepalaku.
***

            Tik…Tik…Tik…
            Malam semakin larut. Hujan turun dengan lebatnya, mengguyur bumi dengan tetesan-tetesan air. Apakah Tuhan juga sedang menangis seperti diriku saat ini?
            “Dasar banci.”
            “Jangan dekat-dekat dia, nanti ketularan banci.”
            “Banci itu homo, jangan berteman dengannya.”
            “Jangan ganggu banci, bahaya.”
Otakku sekarang dipenuhi oleh rasa sesak oleh kekejaman sesamaku sendiri. Sesama manusia yang seharusnya membantuku, bukannya menghina dan menghindar dariku. Mengapa mereka seenaknya saja menghakimiku dengan sejuta kalimat kejam itu? Aku hanya ingin menunjukkan siapa diriku, aku hanya ingin dihargai sebagai seorang manusia. Aku sadar tidak ada gunanya aku menangisi diri sendiri karena perlakuan orang-orang di sekelilingku. Tetapi, tidak bisakah mereka memberikan kesempatan bagiku untuk menjadi diriku apa adanya dan mengganggap aku bagian dari mereka?
“Ini semua salahmu, Ema…,” aku mendengar suara seorang lelaki dari arah ruang tamu, suara itu terdengar serak dan tegas. Ah, suara Ayah.
            “Kamu menyalahkan aku?” terdengar suara seorang wanita. Ini pasti suara Ibu.
            “Bukan begitu maksudku, Ema,”jawab Ayah.
            “Jadi apa maksudmu?” Suara Ibu sekarang terdengar parau. Apa yang sedang mereka bicarakan?
            “Ema, Aku tahu betapa kamu sangat menginginkan anak perempuan sejak kematian anak perempuan kita karena demam berdarah. Tetapi caramu salah karena kamu telah memperlakukan Nathan layaknya anak perempuan selama ini, dan kamu lihat hasilnya sekarang?” pertanyaan Ayah dijawab Ibu dengan suara isak tangis. Ibu menangis…Ya, Ibu menangis karena aku.
            “Maaf, sayang…”  kata Ayah dengan lembut sambil membelai rambut Ibu. Aku melihat dengan penuh rasa haru saat Ayah berusaha untuk menenangkan Ibu yang sedang menangis di pelukannya.
Ternyata mereka sedang membicarakan aku, anak lelaki mereka yang diperlakukan seperti seorang anak perempuan selama 18 tahun ini. Aku yang dibelikan boneka barbie dan dimanja oleh Ibu. Aku yang cengeng dan penakut. Akulah si lelaki yang seharusnya melindungi, namun lebih memilih untuk menutup dan mengurung diri dalam sangkar emas dan menanti datangnya perlindungan. Tetapi, aku tidak akan menyalahkan siapapun, apalagi menyalahkan Ibu yang telah melahirkanku maupun Ayah yang selalu menjagaku. Menyalahkan situasi atau orang lain sama saja dengan berusaha melarikan diri dari kenyataan. Aku tidak boleh egois. Aku tidak mau membiarkan air mata Ibu menetes sia-sia karena aku. Aku harus berubah. Aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka.
“Ibu, jangan menangis…”kataku pada Ibu.
“Nathan…,” ucap Ibu sambil terburu-buru menghapus air matanya. Ibu kelihatan terkejut dengan kehadiranku
“Bu, aku sayang Ibu, jadi Ibu tidak boleh menangis lagi,” kataku sambil memeluk Ibu erat-erat dan menyeka air matanya dengan telapak tangan kananku.
“Nathan, maafkan Ibu…,”kata Ibu pelan.
“Ibu tidak perlu minta maaf, yang harus minta maaf adalah Nathan,” jawabku sembari memberikan senyum termanisku untuk Ibu yang paling kusayangi.
“Nathan, kamu dengar pembicaraan kami?” tanya Ayah padaku.
“Iya, Ayah.” aku berusaha untuk menjawab dengan tenang.
“Kamu tidak marah?” tanya Ayah lagi.
Aku memandang wajah Ayah dan Ibu sesaat, menunduk, lalu memandang mereka lagi sambil tersenyum. “Apa wajahku terlihat sedang marah?”
“Nathan, kamu memang dapat menyembunyikan perasaanmu. Tapi Ayah dapat merasakan kekecewaan dan kesedihanmu,” kata Ayah seraya menatapku dengan penuh kasih sayang.
“Ayah benar, dulu aku memang Nathan yang selalu merasa sedih dan putus asa. Tetapi, kini aku memilih untuk berubah. Aku akan mulai belajar menjadi laki-laki sejati dan aku yakin bahwa aku bisa,”jawabku setelah mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri yang perlahan mulai tumbuh dan berkembang dalam diriku. Bukankah hidup adalah pilihan seperti kata Mey Ling? Kini aku akan memilih untuk menjadi Nathan yang percaya diri, tegar dan kuat. Betapa bodohnya aku terperangkap dalam pikiranku sendiri selama ini. Aku telah mempersulit diriku sendiri. Lagipula hidup ini juga tidak akan pernah sempurna. Setiap manusia pasti punya masalah masing-masing dan setiap manusia juga punya pilihan. Pilihan itu ada di tangan kita sendiri. Entah memilih untuk tetap terkurung dalam masalah itu ataukah memutuskan untuk melakukan sesuatu dan maju menghadapi masalah itu dengan gagah berani.
“Anak kita sudah dewasa rupanya,” kata Ayah kepada Ibu. Sedetik kemudian, kami sudah saling merangkul dalam atmosfer cinta yang begitu indah. Aku menyadari bahwa ikatan cinta di antara orang tua dan anak tidak akan putus seperti layaknya sebuah lingkaran yang tidak pernah akan berhenti berputar serta tidak berujung. Aku yakin semua orang tua sangat menyayangi anaknya dan menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kini, aku merasa telah kembali menjadi manusia, tepatnya seorang laki-laki sejati.

***
“Nathan…,” terdengar suara seseorang memanggilku dari kejauhan saat aku sedang berjalan menuju warung kopi Asiang. Akupun segera menoleh untuk mencari asal suara itu. Ternyata Mey Ling.
“Hai, Mey Ling…,” jawabku sambil berjalan ke arahnya.
“Apa kabar?” tanyanya sambil tersenyum.
“Baik, kamu sendiri bagaimana?” tanyaku sambil tersenyum lebar.
“Baik. Nat, kamu kelihatan lebih bersemangat dan ceria sekarang…Ini baru Nathan yang kukenal,”kata Mey Ling menyadari ada yang lain di diriku.
“Iya, Ling. Ternyata kebahagiaan terletak di dalam hati kita sendiri dan aku sudah memutuskan untuk mengambil kesempatan untuk bahagia,” jawabku.
“Bagus,Nat. Kamu harus mengalahkan kelemahan di dalam dirimu,”kata Mey Ling sembari mengacungkan kedua jari jempolnya padaku.
“Kamu benar, Ling. Ketika aku mengizinkan diriku untuk masuk ke saat ini dan mencoba untuk menghadapinya dengan penuh rasa keberanian, aku sadar bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kutakutkan,”jawabku sambil tersenyum lebar.
“Wah, ada pelangi!”seru Mey Ling tiba-tiba sambil melompat girang.
“Indah sekali. Bagaimana ya proses terciptanya pelangi?”tanyaku kagum.
“Guru fisikaku pernah berkata bahwa pelangi muncul dari pembiasan cahaya sehabis hujan. Bagiku, pelangi itu ciptaan Tuhan yang sangat indah…”jawab Mey Ling. Aku semakin kagum padanya.
“Baiklah, kalau begitu pelangi itu akan menjadi simbol dimana kuucapkan harapan untuk kebahagiaan untuk melihat dunia yang lebih indah,” kataku tegas.
“Pelangi adalah saat kau keluar dari penjara kehidupan yang bernama rasa takut, benci, dan dendam. Apa kau siap untuk memancarkan keindahan bagi dunia?”tanya Mey Ling sembari menepuk punggungku pelan.
“Tentu saja siap, nona muda,”jawabku yang disambut senyuman Mey Ling.
“Pelangi itu membuat hati kita menjadi hangat. Kakekku dulu berkata bahwa kehangatan dalam diri kita akan menjadi kekuatan bagi kita. Apa kamu percaya?” tanya Mey Ling.
“Apa itu berarti baterai kehidupan itu terletak di jiwa kita?”tanyaku yang dijawab dengan anggukan kepala serta tawa kecil Mey Ling. Dia terlihat begitu cantik. Aku mulai merasakan ada yang lain padaku.
“Nat, kenapa kamu menatapku begitu?” tanya Mey Ling menyadarkanku yang sedang terpesona oleh kecantikannya.
“Ah, maaf. Aku hanya merasa bahwa kau begitu cantik,” jawabku tersipu malu.
“Menurutku, semua gadis itu terlihat cantik saat mereka menghargai diri sendiri dan merasa bahagia dengan diri mereka.”
Ling, bagaimana bila aku jatuh cinta padamu?” kataku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaanku.
“Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”tanya Mey Ling dengan pipi memerah.
“Karena kini aku menyadari bahwa aku jatuh cinta padamu, Ling,” jawabku sembari menatap matanya dengan hangat.
“Apa kamu tahu bahwa kamu adalah cinta pertamaku?”tanya Mey Ling.
“Apa maksudmu, Ling?” tanyaku bingung.
“Nat, sebenarnya aku sudah menyukaimu sejak saat kau melindungiku dari anak-anak nakal. Aku selalu menyukaimu. Aku selalu menanti saat aku kembali ke kota ini karena aku sangat ingin bertemu denganmu,” jawab Mey Ling.
Wajahku langsung bersemu merah mendengar ucapan Mey Ling. Aku merasa begitu bahagia. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk dapat melindungi dan membahagiakan Mey Ling. Ini adalah awal yang indah bagiku untuk memulai hidup sebagai seorang laki-laki sejati.
Ling, Aku sayang kamu. Bersediakah kau menjadi pelangi terindah dalam hidupku?” tanyaku pelan.
“Tentu saja, Nat. Aku juga sayang padamu, apa adanya kamu.”
            “Kamu itu bagaikan secangkir kopi yang selalu bisa menenangkan diriku, Ling.” Aku berkata sambil mencubit pipinya yang sedang memerah.
***


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com